Minggu, 11 Desember 2016

MAKALAH TEORI BELAJAR SASTRA

TEORI BELAJAR  SASTRA
MODEL BELAJAR SASTRA : PEMBELAJARAN KOMUNIKTIF

Dosen Pengampu : Dr. Ari Ambarwati, M.Pd
Disusun Oleh:
Sani (21501071008)
Laras Sufia Rachmatul Jannah (21501071022)




Description: C:\PEND. BAHASA DAN SASTRA INDONESIA\index.png





PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS ISLAM MALANG
DESEMBER 2016





BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
                   Karya sastra adalah karya seni yang berbicara tentang masalah hidup dan kehidupan, tentang manusia dan kemanusiaan yang menggunakan bahasa sebagai mediumnya (Esten, 1980). Menurut Rusyana (1982) menyatakan, “Sastra adalah hasil kegiatan kreatif manusia dalam pengungkapan penghayatannya tentang hidup dan kehidupan, tentang manusia dan kemanusiaan yang menggunakan bahasa.” Pendekatan komunikatif adalah sistem pembelajaran yang menekankan pada aspek komunikasi, interaksi, dan mengembangkan kompetensi kebahasaan, serta keterampilan berbahasa (menyimak, membaca, menulis, berbicara) sebagai tujuan pembelajaran bahasa dan mengakui bahwa ada kaitannya dengan kegiatan komunikasi dalam kehidupan sehari-hari.
                   Dari kedua pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa karya sastra adalah karya seni, mediumnya (alat penyampainya) adalah bahasa, isinya adalah tentang manusia, bahasannya adalah tentang hidup dan kehidupan, tentang manusia dan kemanusiaan. Dapat dimunculkan pertanyaan, “Apakah peserta didik perlu belajar sastra?” Jika ia, apa hasil akhir yang diharapkan dari pembelajaran ini? Bagaimana pembelajaran itu dilaksanakan? Pembelajaran sastra tidak dapat dipisahkan dengan pembelajaran bahasa. Namun, pembelajaran sastra tidaklah dapat disamakan dengan pembelajaran bahasa.
                    Menurut Oemarjati (1992), pengajaran sastra pada dasarnya mengemban misi efektif, yaitu memperkaya pengalaman siswa dan menjadikannya (lebih) tanggap terhadap peristiwa-peristiwa di sekelilingnya. Tujuan akhirnya adalah menanam, menumbuhkan, dan mengembangkan kepekaan terhadap masalah-masalah manusiawi, pengenalan dan rasa hormatnya terhadap tata nilain baik dalam konteks individual, maupun sosial. Dapat disimak dari ketiga pendapat tersebut, bahwa pembelajaran sastra sangatlah diperlukan.
                    Hal itu bukan saja ada hubungan dengan konsep atau pengertian sastra, tetapi juga ada kaitan dengan tujuan akhir dari pembelajaran sastra. Dewasa ini sama-sama dirasakan, kepekaan manusia terhadap peristiwa-peristiwa di sekitar semakin tipis, kepekaan terhadap masalah-masalah manusiawi semakin berkurang. Pembelajaran sastra adalah pembelajaran apresiasi. Menurut Efendi dkk. (1998), apreasisi adalah kegiatan mengakrabi karya sastra secara sungguh-sungguh. Di dalam mengakrabi tersebut terjadi proses pengenalan, pemahaman, penghayatan, penikmatan, dan setelah itu penerapan.

B.     Rumusan Masalah
1.      Hal apa saja yang harus diperhatikan dalam pembelajaran?
2.      Bagaimana pentingnya pembelajaran sastra terhadap siswa melalui pendekatan komunikatif?
3.      Bagaimana pendekatan komunikatif dalam pembelajaran sastra?
C.     Tujuan
                   Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memberikan penjelasan berupa materi pembelajaran kepada pembaca mengenai pendekatan komunikatif dalam pembelajaran sastra.
































BAB II
PEMBAHASAN

A.    Definisi Pembelajaran Sastra
                          Pembelajaran didefinisikan sebagai upaya untuk membelajarkan siswa (Degeng 1997:1). Bertolak dari definisi tersebut pembelajaran dapat diartikan sebagai suatu kegiatan yang memberikan fasilitas belajar yang baik sehingga terjadi proses belajar. Pemberian fasilitas belajar bagi siswa memerlukan suatu strategi, yaitu strategi pembelajaran.
                          Menurut Piaget (dalam Dimyati 2009:14-15), pembelajaran terdiri dari empat langkah, yaitu:
a.       Menentukan topik yang dapat dipelajari oleh anak sendiri;
b.      Memilih atau mengembangkan aktivitas kelas dengan topik tersebut;
c.       Mengetahui adanya kesempatan bagi guru untuk mengemukakan pertanyaan yang menunjang proses pemecahan masalah; dan
d.      Menilai pelaksanaan tiap kegiatan, memperhatikan keberhasilan, dan melakukan revisi.
                         Menurut Oemarjati (1992), pengajaran sastra pada dasarnya mengemban misi efektif, yaitu memperkaya pengalaman siswa dan menjadikannya (lebih) tanggap terhadap peristiwa-peristiwa di sekelilingnya. Tujuan akhirnya adalah menanam, menumbuhkan, dan mengembangkan kepekaan terhadap masalah-masalah manusiawi, pengenalan dan rasa hormatnya terhadap tata nilain baik dalam konteks individual, maupun sosial. Dapat disimak dari ketiga pendapat tersebut, bahwa pembelajaran sastra sangatlah diperlukan.
                         Pembelajaran sastra merupakan bagian dari pembelajaran bahasa. Dimasukkannya pembelajaran sastra ke dalam pembelajaran bahasa Indonesia kiranya dapat dimaklumi, karena secara umum, sastra adalah segala sesuatu yang ditulis. Pengertian pembelajaran sastra dianggap terlalu luas dan juga terlalu sempit. Dianggap terlalu luas, karena dengan semua buku termasuk sastra. Dianggap terlalu sempit dengan keberatan bahwa macam balada yang dinyanyikan dan cerita yang dibacakan, dengan demikian, tidak termasuk dalam sastra (Sumaryadi, 2008).                         
                          Hal itu bukan saja ada hubungan dengan konsep atau pengertian sastra, tetapi juga ada kaitan dengan tujuan akhir dari pembelajaran sastra. Dewasa ini sama-sama dirasakan, kepekaan manusia terhadap peristiwa-peristiwa di sekitar semakin tipis, kepekaan terhadap masalah-masalah manusiawi semakin berkurang. Pembelajaran sastra adalah pembelajaran apresiasi. Menurut Efendi dkk. (1998), apreasisi adalah kegiatan mengakrabi karya sastra secara sungguh-sungguh. Di dalam mengakrabi tersebut terjadi proses pengenalan, pemahaman, penghayatan, penikmatan, dan penerapan, sebagai berikut :
a.       Pengenalan terhadap karya sastra dapat dilakukan melalui membaca, mendengar, dan menonton. Hal itu tentu dilakukan secara bersungguh-sungguh. Kesungguhan dalam kegiatan tersebut akan bermuara kepada pengenalan secar bertahap dan akhirnya sampai ke tingkat pemahaman.
b.      Pemahaman terhadap karya sastra yang dibaca, didengar, atau ditonton akan mengantarkan peserta didik ke tingkat penghayatan.
c.       Indikator yang dapat dilihat setelah menghayati karya sastra adalah jika bacaan, dengaran, atau tontonan sedi ia akan ikut sedih, jika gembira ia ikut gembira, begitu seterusnya. Hal itu terjadi seolah-olah ia melihat, mendengar, dan merasakan dari yang dibacanya.
d.      Menurut Rusyiana (1984:322), kemampuan mengalami pengalaman pengarang yang tertuang di dalam karyanya dapat menimbulkan rasa nikmat pada pembaca. Selanjutnya dikatakan, Kenikmatan itu timbul karena: (1) merasa berhasil dalam menerima pengalaman orang lain; (2) bertambah pengalaman sehingga dapat menghadapi kehidupan lebih baik; dan (3) menikmati sesuatu demi sesuatu itu sendiri, yaitu kenikatan estetis.
e.       Fase terakhir dalam pembelajaran sastra adalah penerapan. Penerapan merupakan ujung dari penikmatan. Oleh karena peserta didik merasakan kenikmatan pengalaman pengarang melalui karyanya, ia mencoba menerapkan nilia-nilai yang ia hayati dalam kehidupan sehari-hari. Penerapan itu akan menimbulkan perubahan perilaku.
                         Beberapa model pembelajaran sastra yang dikembangkan adalah model pembelajaran sastra yang terbagi menjadi 7 model, yaitu
a)      Model Stratta
                         Model ini diciptakan oleh Leslie Stratta. Terdapat tiga tahapan di dalam pembelajaran bersastra dengan model Stratta, yakni:
·         Tahap penjelajahan (misalnya, mengajukan pertanyaan atas karya yang akan diapresiasi kemudian menjawabnya berdasarkan perkiraan pribadi);
·         Tahap interpretasi (membandingkan kesamaan dan perbedaan antara yang ada dalam karya dengan jawaban sendiri); serta
·         Tahap rekreasi (penciptaan kembali) dengan melisankan puisi, prosa, atau drama yang telah diapresiasi dan yang lain mengevaluasi.
b)      Model Induktif
                         Model ini diciptakan oleh Hilda Taba. Model Taba sangat dekat gaya penalaran induktif. Di samping itu, model ini juga merupakan pengejawantahan dari teori belajar kontruktif dan inkuiri. Model ini diorientasikan kepada pembelajaran berorientasi pemrosesan informasi. Langkah-langkahnya adalah:
a) pembentukan konsep (mendata, mengklasifikasi, memberi nama) terhadap karya yang diapresiasi;
b) analisis konsep (menafsirkan, membandingkan, menggeneralisasikan); c) penerapan prinsip (menganalisis masalah baru, membuat hipotesis, menjawab hipotesis, memeriksa hipotesis) dan dapat diakhiri melalui penciptaan karya baru.

c)      Model Analisis
                         Model analisis adalah S.H. Burton. Model ini menekankan pada proses analisis terhadap sesuatu, dan kemudian menentukan unsur-unsur yang dianalisisnya. Strategi yang digunakan di kelas melalui model ini ditempuh melalui tiga tahapan, yakni: a) membaca untuk mendapatkan kesan pertama. Kesan ini akan berbeda antarindividu. Penyebabnya, pengalaman awal individu pun berbeda-beda; b) menganalisis untuk mendapatkan kesan objektif. Kesan beragam yang pertama muncul dapat diarahkan kepada kesan objektif setelah secara menyeluruh dilakukan analisis; serta c) menanggapi untuk mendapatkan sintesis atas kedua kesan di awal. Kesan-kesan tersebut memiliki nilai yang amat tinggi. Perpaduan antara dua kesan itulah yang akan melahirkan pengalaman baru bagi siswa

d)     Model Sinektik
                         Pencipta model Sinektik adalah William J. Gordon. Orientasi utama dari model ini adalah pembentukan kreativitas pada siswa. Gordon menggunakan tiga jenis proses kreatif, yakni: a) analogi langsung (mengandaikan siswa menjadi pengarang); b) analogi personal (membandingkan pengalaman pengarang dengan pengalaman siswa); serta c) analogi kempaan (membandingkan cara pengarang dengan cara siswa dalam menyelesaikan masalah).



e)      Model Bermain Peran
                         Pencipta model bermain peran adalah Torrance. Model ini amat mirip dengan pementasa drama sederhana. Namun, peran di dalam bermain peran diambil dari kehidupan nyata, bukan kehidupan imajinasi. a) memotivasi kelompok b) pemilihan pemain c) penyiapan pengamat d) penyiapan tahap dan peran e) pemeranan f) diskusi dan evaluasi (tahap I) g) pemeranan ulang h) diskusi dan evaluasi (tahap II) i) pembagian pengalaman dan generalisasi.

f)       Model Sosiodrama
                         Jika bermain peran yang diutamakan pemeranan, sosiodrama lebih mementingkan aspek sosial (problem dan tantangan). Sintaksis pembelajarannya adalah:
Ƙ  Menetapkan masalah
Ƙ  Mendeskripsikan situasi masalah
Ƙ  Pemilihan pemain
Ƙ  Penjelasan dan pemanasan untuk aktor dan pengamat
Ƙ  Memerankan situasi tertentu
Ƙ  Memotong adegan
Ƙ  Mendiskusikan dan menganalisis situasi lakuan dan gagasan yang dihasilkan
Ƙ  Implementasi gagasan baru.

g)      Model Simulasi
                         Model simulasi sebenarnya tidak asing lagi buat kita. Hampir semua profesi memerlukan dan selalu menggunakannya. Tujuan dari penggunaan model ini adalah untuk memberikan kemungkinan kepada siswa agar menguasai suatu keterampilan melalui latihan dalam situasi tiruan. Langkah-langkah penerapan di dalam pembelajaran adalah sebagai berikut.
§  Pemilihan situasi, masalah, atau permainan yang cocok sehingga tujuan tercapai
§  Pengorganisasi kegiatan
§  Persiapan dalam pelaksanaan tugas
§  Pemberian stimulasi secara jelas
§  Diskusi kegiatan simulasi dengan pelaku
§  Pemilihan peran
§  Persiapan pemeranan
§  Mengawasi kegiatan
§  Penyampaian saran
§  Penilaian.

B.     Pentingnya Pembelajaran Sastra terhadap Siswa
                         Pembelajaran sastra penting bagi siswa karena berhubungan erat dengan keharuan. Sastra dapat menimbulkan rasa haru, keindahan, moral, keagamaan, khidmat terhadap Tuhan, dan cinta terhadap sastra bangsanya (Broto, 1982: 67).  Di samping memberikan kenikmatan dan keindahan, karya sastra juga memberikan keagungan kepada siswa pada khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya. Sastra Indonesia secara umum dapat dipakai sebagai cermin, penafsiran, pernyataan, atau kritik kehidupan bangsa. Fungsi sastra kiranya tidak perlu diragukan lagi. Sastra dapat memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap cara berpikir orang mengenai hidup, baik dan buruk, benar dan salah, dan cara hidupnya sendiri dan bangsanya (Soeharianto, 1976: 25). Pada proses pembelajaran sastra tentunya melibatkan guru sastra (dalam hal ini guru bahasa Indonesia) sebagai pihak yang mengajarkan sastra, dan siswa sebagai subjek yang belajar sastra. Dalam pembelajaran sastra ada suatu metode (sebagai suatu alternatif) yang menawarkan keefektifan kerja guru bahasa Indonesia.
                         Langkah awal yang perlu dilakukan adalah meyakinkan siswa bahwa pengajaran sastra tidak hanya menawarkan hiburan sesaat, tetapi juga akan memberi berbagai manfaat lain bagi siswa. Penikmatan yang apresiatif terhadap puisi, prosa fiksi, drama dalam berbagai genre akan membuktikan kemanfaatan tersebut pada siswa.
                         Selanjutnya, guru pun harus berusaha mengubah teknik pembelajaran sastra di sekolah. Selama ini pengajaran sastra dan juga bahasa Indonesia lebih diarahkan pada aspek sejarah dan pengetahuan sehingga siswa dipacu untuk menghafal, bukan untuk mengahayati karya yang diajarkan.
                         Kegiatan apresiasi sastra tidak hanya diajarkan dalam bentuk pembacaan karya sastra oleh siswa. Kegiatan ini dapat juga diwujudkan dalam berbagai bentuk kegiatan dengan berbagai teknik pembelajaran. Kegiatan deklamasi, lomba penulisan puisi, musikalisasi puisi, dramatisasi puisi, mendongeng, pembuatan sinopsis, bermain peran, penulisan kritik dan esei, dan berbagai kegiatan lain dapat dimanfaatkan untuk menumbuhkan apresiasi sastra pada siswa. Berbagai kegiatan tersebut akan menumbuhkan penghayatan, pencintaan, dan penghargaan yang relatif baik pada para siswa terhadap mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia.




C.     Pendekatan Komunikatif dalam Pembelajaran Sastra
                         Pendekatan komunikatif adalah sistem pembelajaran yang menekankan pada aspek komunikasi, interaksi, dan mengembangkan kompetensi kesusastraan, serta keterampilan apresiatif sebagai tujuan pembelajaran sastra dan berkaitan dengan kegiatan komunikasi dalam kehidupan sehari-hari yakni mengapresiasi hasil karya orang lain. Ciri-ciri pendekatan komunikatif :
a.       Mengutamakan makna sebenarnya daripada tata gramatikalnya 
b.      Adanya kegiatan komunikasi fungsional dan interaksi sosial yang saling berkaitan  
c.       Pembelajaran berorientasi pada pemerolehan kompetensi komunikatif, bukan ketepatan gramatikal (pemahaman untuk dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari)
d.      Pembelajaran diarahkan pada modifikasi dan peningkatan murid dalam menemukan kaidah bahasa lewat kegiatan berbahasa (learning by doing).
                         Adapun langkah-langkah pembelajaran dalam pendekatan komunikatif, yakni:
·         Tahap persiapan; guru perlu merumuskan tujuan pembelajaran dan menyiapkan berbagai strategi yang berhubungan dengan pokok bahasan yang diajarkan.
·         Tahap pelaksanaan; guru menyajikan materi pelajaran dengan memanfaatkan pendekatan komunikatif, sehingga menarik perhatian siswa dalam proses belajar mengajar, sehingga pembelajaran berlangsung efektif dan efesien.
·         Tahap evaluasi; guru mengadakan evaluasi materi pelajaran.

















BAB III
KESIMPULAN


                         Definisi pembelajaran sebagai upaya untuk membelajarkan siswa sangatlah penting, karena dalam pendekatan komunikatif berarti siswa mampu berinteraksi dan bertukar pikiran informasi dengan guru. Pada dasarnya pembelajaran sastra dapat mengembangkan misi efektif dengan cara memperkaya pengalaman siswa dan menjadikannya (lebih) tanggap serta aktif berinteraksi terhadap peristiwa maupun lingkungan sekelilingnya. Tujuan akhir dalam pembelajaran sastra adalah menanam, menumbuhkan, dan mengembangkan kepekaan terhadap masalah-masalah manusiawi, pengenalan dan rasa hormatnya terhadap tata nilain baik dalam konteks individual, maupun sosial, berarti siswa diharapkam mampu mengembangkan karya sastra dengan cara menghargai hasil karya sastra orang lain maupun sastrawan.

                         Pembelajaran sastra, guru (sebagai pihak yang mengajarkan) dan siswa (sebagai subjek yang belajar sastra). Dalam kegiatan pembelajaran sastra, siswa juga bisa mengapresiasikan hasil karya orang lain dengan pendekatan komunikasi berarti berinteraksi dengan lingkungan sekolah. Dengan lingkungan sekolah, siswa bisa membuat suatu karya sastra (seperti cerpen, pantun, puisi, novel, dsb) untuk dijadikan majalah dinding dan banyak siswa berpartisipasi untuk mengembangkan karya sastra.
                          Kegiatan apresiasi sastra tidak hanya diajarkan dalam bentuk pembacaan karya sastra oleh siswa. Kegiatan ini dapat juga diwujudkan dalam berbagai bentuk kegiatan dengan berbagai teknik pembelajaran. Berbagai kegiatan tersebut akan menumbuhkan penghayatan, pencintaan, dan penghargaan yang relatif baik pada para siswa terhadap mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia.
                         Pembelajaran sastra penting bagi siswa karena berhubungan erat dengan keharuan. Sastra dapat menimbulkan rasa haru, keindahan, moral, dan cinta terhadap bangsa Indonesia. Pada umumnya, karya sastra juga memberikan keagungan kepada siswa bangsa Indonesia. Pembelajaran sastra sendiri bisa mengembangkan karya sastra, seperti cerpen, puisi, dan novel yang telah berkembang secara pesat. Maka dari itu, apresiasi dari siswa sangat tinggi dalam lingkungan sekolah.







Daftar Rujukan

Broto, A.S.1982. Metode Proses Belajar-Mengajar Berbahasa Dewasa Ini. Solo: Tiga Serangkai.
Degeng, Nyoman Sudana. 1997. Strategi Pembelajaran. Malang: IKIP Malang.
Dimyati dan Mudjiono. 2009.Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
Esten, M. (Ed).1980. Menjelang Teori dan Kritik Susastra Indonesia yang Relevan.Bandung: Angkasa.
Oemarjati, B.S.1992.Dengan Sastra Mencerdaskan Siswa:Memperkaya Pengalaman dan Pengetahuan.Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Rusyana, Yus.1982.Cerita Rakyat Nusantara.Himpunan Makalah tentang Cerita Rakyat.Bandung: FKSS.
Rusyana, Yus.1984. Metode Pengajaran Sastra.Yogyakarta: Kanisius
Diponegoro.
Soeharianto, S.1976. “Peranan Puisi dalam Kehiddupan Kita” dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra Th.I. Nomor 6. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud.
Sumaryadi.2008.Pembelajaran Sastra di Sekolah dalam http://www.sumaryadi.multiply.com/journal/item/2008/03 di akses pada 15 Desember 2011.
























LAMPIRAN

A.    Pertanyaan
1.      Rosmiati (21501071007)
Kapan pembelajaran sastra dianggap terlalu luas dan terlalu sempit itu digunakan?
2.      Mochammad Sholeh (21501071026)
Berikan contoh model pembelajaran sastra dalam pendekatan komunikatif di kelas?
3.      Dedi Gunawan (21501071029)
Jelaskan sastra sebagai segala sesuatu yang tertulis?
4.      Iskandar (21501071016)
Jelaskan pembelajaran sastra sangat penting bagi siswa karena berhubungan erat dengan keharuan?
5.      Dwi Kusmawati (21501071017)
Apa maksud dari pernyataan “mengutamakan makna sebenarnya daripada tata gramatikal dan contohnya?
B.     Jawab
1.      Pembelajaran sastra dianggap terlalu luas digunakan saat siswa membaca buku dan semua buku termasuk sastra. Pembelajaran sastra dianggap terlalu sempit digunakan saat siswa membacakan sebuah cerita dan menyanyikan semacam balada, dengan demikian juga tidak termasuk dalam sastra.
2.      a) Model Stratta, contoh: saat akan mengembangkan kompetensi     menulis puisi, misalnya, guru dapat meminta siswa mengidentifikasi peristiwa yang pernah diindranya (dilihat, didengar, dirasakan, dicium, diraba), catatan pribadinya, atau cerita yang pernah dibacanya; serta melakukan investigasi, eksplorasi, atau discovery untuk memperoleh beragam cara pandang atas pengalaman awalnya, misalnya observasi ke pasar, panti jompo atau panti asuhan; wawancara dengan tokoh yang relevan; dsb.
b)      Model Induktif, contoh : 1) melalui pembelajaran membaca intensif prosa (cerpen atau novel), misalnya, guru dapat membuat simulasi berupa mengamati bacaan, baik berkenaan dengan judul, pengarang, daftar isi, catatan pada kover belakang, dsb.; 2) berdasarkan hasil pengamatan, guru dapat meminta siswa untuk membuat daftar pertanyaan tentang kira-kira isi yang ada di dalam prosa tersebut; 3) siswa menjawab sendiri pertanyaan itu sebagai jawaban sementara (hipotesis); 4) untuk membuktikan apakah hipotesis itu benar atau tidak, guru meminta siswa untuk membuktikannya melalui membaca keseluruhan prosa sambil membandingkan dengan jawabannya; serta 5) langkah terakhir adalah siswa menarik kesimpulan atas pembuktian itu. Kemudian, menyajikan sintesisnya diikuti dengan diskusi antarsiswa lainnya.
c)      Model Analisis, contoh : Strategi yang digunakan di kelas melalui model ini ditempuh melalui tiga tahapan, yakni: a) membaca untuk mendapatkan kesan pertama. Kesan ini akan berbeda antarindividu. Penyebabnya, pengalaman awal individu pun berbeda-beda; b) menganalisis untuk mendapatkan kesan objektif. Kesan beragam yang pertama muncul dapat diarahkan kepada kesan objektif setelah secara menyeluruh dilakukan analisis; serta c) menanggapi untuk mendapatkan sintesis atas kedua kesan di awal.
d)     Model Sinektik, contoh: ada setiap akhir pemelajaran, siswa distimulasi untuk merasakan, membayangkan, memikirkan hal-hal yang telah dipelajarinya. Misalnya, melalui pertanyaan ”Apa yang kamu rasakan setelah mempelajari bab tertentu?”, ”Apa yang terbayang dalam diri kamu jika mampu menulis cerpen?”, ”Apakah kamu juga terdorong untuk mulai membaca beragam bacaan?”, ”Mengapa saya menyukai itu?”, ”Bagaimana agar saya bisa mengirimkan tulisan ke media massa?”, dsb. Jawaban-jawaban itu kemudian dirangkai dalam satu tulisan, baik berupa simpulan, saran, pendapat, dan sebagainya.
e)      Model Bermain Peran, contoh: salah seorang siswa di dalam kelompok belajar berperan menjadi pembaca cerita. Siswa lainnya mendengarkan sambil mencatat hal-hal penting berkenaan dengan cerita, seperti apa, siapa, kapan, di mana, mengapa, atau bagaimana. Untuk guru, wacana bahan mendengarkan dongeng di dalam buku pelajaran dapat direkam kemudian siswa mendengarkan rekaman tersebut. Melalui pembelajaran pementasan drama, misalnya, guru dapat menstimulasi siswa melalui kelompok untuk melakukan brainstorming (curah gagasan) intrakelompok tentang naskah drama yang akan dipentaskan. Di samping itu, mereka juga akan belajar membentuk suatu organisasi dalam menciptakan kerja sama.
f)       Model Sosiodrama, contoh: Sintaks pembelajarannya adalah: 1) menetapkan masalah; 2) mendeskripsikan situasi masalah; 3) pemilihan pemain; 4) penjelasan dan pemanasan untuk aktor dan pengamat; 5) memerankan situasi tertentu; 6) memotong adegan; 7) mendiskusikan dan menganalisis situasi lakuan dan gagasan yang dihasilkan; 8) implementasi gagasan baru.
g)      Model Simulasi, contoh: strategi peniruan (the master copy) dapat digunakan di dalam pembelajaran menulis cerita pendek. Misalnya, guru dapat memberikan contoh cerpen ”Datangnya dan Perginya” dalam Robohnya Surau Kami karya Navis. Mula-mula siswa membaca cerpen, membuat bagan tokoh cerpen, mengidentifikasi waktu dan tempat kejadian, membuat ilustrasi visual setiap tokoh cerpen, menentukan apa yang dipermasalahkan, dan sebagainya. Siswa diminta mengganti tokoh dengan tokoh-tokoh dalam kehidupan sehariharinya, membuat bagan hubungan antartokoh jika berbeda dengan bagan tokoh cerpen yang dibacanya, mengganti waktu dan tempat kejadian, mengganti permasalahan sesuai dengan yang dialami siswa, dan sebagainya.
3.      Sastra sebagai segala sesuatu yang tertulis berarti sastra memiliki beberapa karya sastra (seperti cerpen, puisi, pantun, novel) itu dalam bentuk tertulis. Tetapi, sastra dibagi menjadi 2 yaitu lisan dan tertulis. Sastra berupa lisan berarti zaman nenek moyang terlebih dahulu bentuk karya sastra berupa lisan, seperti lagu-lagu (Lir Ilir) dan syair diperkenalkan melalui ucapan(lisan).
4.      Pembelajaran sastra sangat penting bagi siswa karena berhubungan erat dengan keharuan, berarti sastra dapat menimbulkan rasa haru, keindahan, moral, keagamaan, khidmat terhadap Tuhan, dan cinta terhadap sastra bangsanya. Karya sastra juga memberikan keagungan kepada siswa dan sastra Indonesia secara umum dapat dipakai sebagai cermin, penafsiran, pernyataan, atau kritik kehidupan bangsa.
5.      Salah satu ciri-ciri pendekatan komunikatif yaitu mengutamakan makna sebenarnya daripada tata gramatikal berarti peristiwa atau keadaan tidak memperoleh makna jika tidak dihubungkan. Contoh: puisi “LUKA ha ha” karya Sutardji ialah salah satu puisi yang bagian-bagiannya tersusun dengan bunyi-bunyi murni dan kata-kata puisi dengan sendirinya tidak bermakna karena interjeksi sesungguhnya bukan sebuah kata melainkan bunyi. Jadi, makna puisi karya Sutardji tersebut akan nampak lebih gamblang, jika dideklamasi dalam bentuk teatrikal.


1 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus