TEORI
BELAJAR SASTRA
MODEL BELAJAR SASTRA : PEMBELAJARAN
KOMUNIKTIF
Dosen
Pengampu : Dr. Ari Ambarwati, M.Pd
Disusun
Oleh:
Sani
(21501071008)
Laras
Sufia Rachmatul Jannah (21501071022)

PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS ISLAM MALANG
DESEMBER 2016
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Karya sastra adalah karya
seni yang berbicara tentang masalah hidup dan kehidupan, tentang manusia dan
kemanusiaan yang menggunakan bahasa sebagai mediumnya (Esten, 1980). Menurut
Rusyana (1982) menyatakan, “Sastra adalah hasil kegiatan kreatif manusia dalam
pengungkapan penghayatannya tentang hidup dan kehidupan, tentang manusia dan
kemanusiaan yang menggunakan bahasa.” Pendekatan komunikatif adalah sistem
pembelajaran yang menekankan pada aspek komunikasi, interaksi, dan
mengembangkan kompetensi kebahasaan, serta keterampilan berbahasa (menyimak,
membaca, menulis, berbicara) sebagai tujuan pembelajaran bahasa dan mengakui
bahwa ada kaitannya dengan kegiatan komunikasi dalam kehidupan sehari-hari.
Dari kedua pendapat tersebut
dapat disimpulkan bahwa karya sastra adalah karya seni, mediumnya (alat
penyampainya) adalah bahasa, isinya adalah tentang manusia, bahasannya adalah
tentang hidup dan kehidupan, tentang manusia dan kemanusiaan. Dapat dimunculkan
pertanyaan, “Apakah peserta didik perlu belajar sastra?” Jika ia, apa hasil
akhir yang diharapkan dari pembelajaran ini? Bagaimana pembelajaran itu
dilaksanakan? Pembelajaran sastra tidak dapat dipisahkan dengan pembelajaran
bahasa. Namun, pembelajaran sastra tidaklah dapat disamakan dengan pembelajaran
bahasa.
Menurut Oemarjati (1992), pengajaran
sastra pada dasarnya mengemban misi efektif, yaitu memperkaya pengalaman siswa
dan menjadikannya (lebih) tanggap terhadap peristiwa-peristiwa di
sekelilingnya. Tujuan akhirnya adalah menanam, menumbuhkan, dan mengembangkan
kepekaan terhadap masalah-masalah manusiawi, pengenalan dan rasa hormatnya
terhadap tata nilain baik dalam konteks individual, maupun sosial. Dapat
disimak dari ketiga pendapat tersebut, bahwa pembelajaran sastra sangatlah
diperlukan.
Hal itu bukan saja ada
hubungan dengan konsep atau pengertian sastra, tetapi juga ada kaitan dengan
tujuan akhir dari pembelajaran sastra. Dewasa ini sama-sama dirasakan, kepekaan
manusia terhadap peristiwa-peristiwa di sekitar semakin tipis, kepekaan
terhadap masalah-masalah manusiawi semakin berkurang. Pembelajaran sastra
adalah pembelajaran apresiasi. Menurut Efendi dkk. (1998), apreasisi adalah
kegiatan mengakrabi karya sastra secara sungguh-sungguh. Di dalam mengakrabi
tersebut terjadi proses pengenalan, pemahaman, penghayatan, penikmatan, dan
setelah itu penerapan.
B. Rumusan
Masalah
1.
Hal apa saja
yang harus diperhatikan dalam pembelajaran?
2.
Bagaimana
pentingnya pembelajaran sastra terhadap siswa melalui pendekatan komunikatif?
3.
Bagaimana
pendekatan komunikatif dalam pembelajaran sastra?
C.
Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini
adalah untuk memberikan penjelasan berupa materi pembelajaran kepada pembaca
mengenai pendekatan komunikatif dalam pembelajaran sastra.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Definisi
Pembelajaran Sastra
Pembelajaran
didefinisikan sebagai upaya untuk membelajarkan siswa (Degeng 1997:1). Bertolak
dari definisi tersebut pembelajaran dapat diartikan sebagai suatu kegiatan yang
memberikan fasilitas belajar yang baik sehingga terjadi proses belajar.
Pemberian fasilitas belajar bagi siswa memerlukan suatu strategi, yaitu
strategi pembelajaran.
Menurut Piaget (dalam
Dimyati 2009:14-15), pembelajaran terdiri dari empat langkah, yaitu:
a. Menentukan
topik yang dapat dipelajari oleh anak sendiri;
b. Memilih atau
mengembangkan aktivitas kelas dengan topik tersebut;
c. Mengetahui
adanya kesempatan bagi guru untuk mengemukakan pertanyaan yang menunjang proses
pemecahan masalah; dan
d. Menilai
pelaksanaan tiap kegiatan, memperhatikan keberhasilan, dan melakukan revisi.
Menurut Oemarjati (1992),
pengajaran sastra pada dasarnya mengemban misi efektif, yaitu memperkaya
pengalaman siswa dan menjadikannya (lebih) tanggap terhadap peristiwa-peristiwa
di sekelilingnya. Tujuan akhirnya adalah menanam, menumbuhkan, dan
mengembangkan kepekaan terhadap masalah-masalah manusiawi, pengenalan dan rasa
hormatnya terhadap tata nilain baik dalam konteks individual, maupun sosial.
Dapat disimak dari ketiga pendapat tersebut, bahwa pembelajaran sastra
sangatlah diperlukan.
Pembelajaran sastra merupakan bagian dari pembelajaran bahasa.
Dimasukkannya pembelajaran sastra ke dalam pembelajaran bahasa Indonesia
kiranya dapat dimaklumi, karena secara umum, sastra adalah segala sesuatu yang
ditulis. Pengertian pembelajaran sastra dianggap terlalu luas dan
juga terlalu sempit. Dianggap terlalu luas, karena dengan
semua buku termasuk sastra. Dianggap terlalu sempit dengan
keberatan bahwa macam balada yang dinyanyikan dan cerita yang dibacakan, dengan
demikian, tidak termasuk dalam sastra (Sumaryadi, 2008).
Hal itu bukan saja
ada hubungan dengan konsep atau pengertian sastra, tetapi juga ada kaitan
dengan tujuan akhir dari pembelajaran sastra. Dewasa ini sama-sama dirasakan,
kepekaan manusia terhadap peristiwa-peristiwa di sekitar semakin tipis,
kepekaan terhadap masalah-masalah manusiawi semakin berkurang. Pembelajaran
sastra adalah pembelajaran apresiasi. Menurut Efendi dkk. (1998), apreasisi
adalah kegiatan mengakrabi karya sastra secara sungguh-sungguh. Di dalam
mengakrabi tersebut terjadi proses pengenalan, pemahaman, penghayatan, penikmatan,
dan penerapan, sebagai berikut :
a. Pengenalan
terhadap karya sastra dapat dilakukan melalui membaca, mendengar, dan menonton.
Hal itu tentu dilakukan secara bersungguh-sungguh. Kesungguhan dalam kegiatan
tersebut akan bermuara kepada pengenalan secar bertahap dan akhirnya sampai ke
tingkat pemahaman.
b. Pemahaman
terhadap karya sastra yang dibaca, didengar, atau ditonton akan mengantarkan
peserta didik ke tingkat penghayatan.
c. Indikator
yang dapat dilihat setelah menghayati karya sastra adalah jika bacaan,
dengaran, atau tontonan sedi ia akan ikut sedih, jika gembira ia ikut gembira,
begitu seterusnya. Hal itu terjadi seolah-olah ia melihat, mendengar, dan
merasakan dari yang dibacanya.
d. Menurut
Rusyiana (1984:322), kemampuan mengalami pengalaman pengarang yang tertuang di dalam
karyanya dapat menimbulkan rasa nikmat pada pembaca. Selanjutnya dikatakan,
Kenikmatan itu timbul karena: (1) merasa berhasil dalam menerima
pengalaman orang lain; (2) bertambah pengalaman sehingga dapat menghadapi
kehidupan lebih baik; dan (3) menikmati sesuatu demi sesuatu itu sendiri,
yaitu kenikatan estetis.
e. Fase
terakhir dalam pembelajaran sastra adalah penerapan. Penerapan merupakan ujung
dari penikmatan. Oleh karena peserta didik merasakan kenikmatan pengalaman
pengarang melalui karyanya, ia mencoba menerapkan nilia-nilai yang ia hayati
dalam kehidupan sehari-hari. Penerapan itu akan menimbulkan perubahan perilaku.
Beberapa model
pembelajaran sastra yang dikembangkan adalah model pembelajaran sastra yang terbagi
menjadi 7 model, yaitu
a)
Model Stratta
Model ini diciptakan
oleh Leslie Stratta. Terdapat tiga tahapan di dalam pembelajaran bersastra
dengan model Stratta, yakni:
·
Tahap penjelajahan (misalnya, mengajukan
pertanyaan atas karya yang akan diapresiasi kemudian menjawabnya berdasarkan
perkiraan pribadi);
·
Tahap interpretasi (membandingkan
kesamaan dan perbedaan antara yang ada dalam karya dengan jawaban sendiri);
serta
·
Tahap rekreasi (penciptaan kembali)
dengan melisankan puisi, prosa, atau drama yang telah diapresiasi dan yang lain
mengevaluasi.
b)
Model Induktif
Model ini diciptakan
oleh Hilda Taba. Model Taba sangat dekat gaya penalaran induktif. Di samping
itu, model ini juga merupakan pengejawantahan dari teori belajar kontruktif dan
inkuiri. Model ini diorientasikan kepada pembelajaran berorientasi pemrosesan
informasi. Langkah-langkahnya adalah:
a)
pembentukan konsep (mendata, mengklasifikasi, memberi nama) terhadap karya yang
diapresiasi;
b)
analisis konsep (menafsirkan, membandingkan, menggeneralisasikan); c) penerapan
prinsip (menganalisis masalah baru, membuat hipotesis, menjawab hipotesis,
memeriksa hipotesis) dan dapat diakhiri melalui penciptaan karya baru.
c)
Model Analisis
Model analisis adalah
S.H. Burton. Model ini menekankan pada proses analisis terhadap sesuatu, dan
kemudian menentukan unsur-unsur yang dianalisisnya. Strategi yang digunakan di
kelas melalui model ini ditempuh melalui tiga tahapan, yakni: a) membaca untuk
mendapatkan kesan pertama. Kesan ini akan berbeda antarindividu. Penyebabnya,
pengalaman awal individu pun berbeda-beda; b) menganalisis untuk mendapatkan
kesan objektif. Kesan beragam yang pertama muncul dapat diarahkan kepada
kesan objektif setelah secara menyeluruh dilakukan analisis; serta c)
menanggapi untuk mendapatkan sintesis atas kedua kesan di awal. Kesan-kesan
tersebut memiliki nilai yang amat tinggi. Perpaduan antara dua kesan itulah
yang akan melahirkan pengalaman baru bagi siswa
d)
Model Sinektik
Pencipta model
Sinektik adalah William J. Gordon. Orientasi utama dari model ini adalah
pembentukan kreativitas pada siswa. Gordon menggunakan tiga jenis proses
kreatif, yakni: a) analogi langsung (mengandaikan siswa menjadi pengarang); b)
analogi personal (membandingkan pengalaman pengarang dengan pengalaman siswa);
serta c) analogi kempaan (membandingkan cara pengarang dengan cara siswa dalam
menyelesaikan masalah).
e) Model
Bermain Peran
Pencipta model bermain
peran adalah Torrance. Model ini amat mirip dengan pementasa drama sederhana.
Namun, peran di dalam bermain peran diambil dari kehidupan nyata, bukan
kehidupan imajinasi. a) memotivasi kelompok b) pemilihan pemain c) penyiapan
pengamat d) penyiapan tahap dan peran e) pemeranan f) diskusi dan evaluasi
(tahap I) g) pemeranan ulang h) diskusi dan evaluasi (tahap II) i) pembagian
pengalaman dan generalisasi.
f)
Model Sosiodrama
Jika bermain peran
yang diutamakan pemeranan, sosiodrama lebih mementingkan aspek sosial (problem
dan tantangan). Sintaksis pembelajarannya adalah:
Ø Menetapkan
masalah
Ø Mendeskripsikan
situasi masalah
Ø Pemilihan
pemain
Ø Penjelasan
dan pemanasan untuk aktor dan pengamat
Ø Memerankan
situasi tertentu
Ø Memotong
adegan
Ø Mendiskusikan
dan menganalisis situasi lakuan dan gagasan yang dihasilkan
Ø Implementasi
gagasan baru.
g)
Model Simulasi
Model simulasi
sebenarnya tidak asing lagi buat kita. Hampir semua profesi memerlukan dan
selalu menggunakannya. Tujuan dari penggunaan model ini adalah untuk memberikan
kemungkinan kepada siswa agar menguasai suatu keterampilan melalui latihan
dalam situasi tiruan. Langkah-langkah penerapan di dalam pembelajaran adalah
sebagai berikut.
§ Pemilihan
situasi, masalah, atau permainan yang cocok sehingga tujuan tercapai
§ Pengorganisasi
kegiatan
§ Persiapan
dalam pelaksanaan tugas
§ Pemberian
stimulasi secara jelas
§ Diskusi
kegiatan simulasi dengan pelaku
§ Pemilihan
peran
§ Persiapan
pemeranan
§ Mengawasi
kegiatan
§ Penyampaian
saran
§ Penilaian.
B. Pentingnya
Pembelajaran Sastra terhadap Siswa
Pembelajaran sastra penting bagi siswa karena berhubungan erat dengan
keharuan. Sastra dapat menimbulkan rasa haru, keindahan, moral, keagamaan,
khidmat terhadap Tuhan, dan cinta terhadap sastra bangsanya (Broto, 1982: 67). Di samping
memberikan kenikmatan dan keindahan, karya sastra juga memberikan keagungan
kepada siswa pada khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya. Sastra Indonesia
secara umum dapat dipakai sebagai cermin, penafsiran, pernyataan, atau kritik
kehidupan bangsa. Fungsi
sastra kiranya tidak perlu diragukan lagi. Sastra dapat memberikan pengaruh
yang sangat besar terhadap cara berpikir orang mengenai hidup, baik dan buruk,
benar dan salah, dan cara hidupnya sendiri dan bangsanya (Soeharianto, 1976:
25). Pada proses
pembelajaran sastra tentunya melibatkan guru sastra (dalam hal ini guru bahasa
Indonesia) sebagai pihak yang mengajarkan sastra, dan siswa sebagai subjek yang
belajar sastra. Dalam pembelajaran sastra ada suatu metode (sebagai suatu alternatif) yang
menawarkan keefektifan kerja guru bahasa Indonesia.
Langkah awal yang
perlu dilakukan adalah meyakinkan siswa bahwa pengajaran sastra tidak hanya
menawarkan hiburan sesaat, tetapi juga akan memberi berbagai manfaat lain bagi
siswa. Penikmatan yang apresiatif terhadap puisi, prosa fiksi, drama dalam
berbagai genre akan membuktikan kemanfaatan tersebut pada siswa.
Selanjutnya, guru pun
harus berusaha mengubah teknik pembelajaran sastra di sekolah. Selama ini
pengajaran sastra dan juga bahasa Indonesia lebih diarahkan pada aspek sejarah
dan pengetahuan sehingga siswa dipacu untuk menghafal, bukan untuk mengahayati
karya yang diajarkan.
Kegiatan apresiasi
sastra tidak hanya diajarkan dalam bentuk pembacaan karya sastra oleh siswa.
Kegiatan ini dapat juga diwujudkan dalam berbagai bentuk kegiatan dengan
berbagai teknik pembelajaran. Kegiatan deklamasi, lomba penulisan puisi,
musikalisasi puisi, dramatisasi puisi, mendongeng, pembuatan sinopsis, bermain
peran, penulisan kritik dan esei, dan berbagai kegiatan lain dapat dimanfaatkan
untuk menumbuhkan apresiasi sastra pada siswa. Berbagai kegiatan tersebut akan
menumbuhkan penghayatan, pencintaan, dan penghargaan yang relatif baik pada
para siswa terhadap mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia.
C. Pendekatan
Komunikatif dalam Pembelajaran Sastra
Pendekatan komunikatif
adalah sistem pembelajaran yang menekankan pada aspek komunikasi, interaksi,
dan mengembangkan kompetensi kesusastraan, serta keterampilan apresiatif
sebagai tujuan pembelajaran sastra dan berkaitan dengan kegiatan komunikasi
dalam kehidupan sehari-hari yakni mengapresiasi hasil karya orang lain. Ciri-ciri
pendekatan komunikatif :
a. Mengutamakan makna sebenarnya daripada
tata gramatikalnya
b. Adanya kegiatan komunikasi fungsional dan
interaksi sosial yang saling berkaitan
c. Pembelajaran berorientasi pada pemerolehan
kompetensi komunikatif, bukan ketepatan gramatikal (pemahaman untuk dapat
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari)
d. Pembelajaran diarahkan pada modifikasi dan
peningkatan murid dalam menemukan kaidah bahasa lewat kegiatan berbahasa (learning
by doing).
Adapun langkah-langkah
pembelajaran dalam pendekatan komunikatif, yakni:
·
Tahap persiapan;
guru perlu merumuskan tujuan pembelajaran dan menyiapkan berbagai strategi yang
berhubungan dengan pokok bahasan yang diajarkan.
·
Tahap pelaksanaan; guru
menyajikan materi pelajaran dengan memanfaatkan pendekatan komunikatif,
sehingga menarik perhatian siswa dalam proses belajar mengajar, sehingga
pembelajaran berlangsung efektif dan efesien.
·
Tahap
evaluasi; guru mengadakan evaluasi materi pelajaran.
BAB
III
KESIMPULAN
Definisi pembelajaran
sebagai upaya untuk membelajarkan siswa sangatlah penting, karena dalam
pendekatan komunikatif berarti siswa mampu berinteraksi dan bertukar pikiran
informasi dengan guru. Pada dasarnya pembelajaran sastra dapat mengembangkan
misi efektif dengan cara memperkaya pengalaman siswa dan menjadikannya (lebih)
tanggap serta aktif berinteraksi terhadap peristiwa maupun lingkungan
sekelilingnya. Tujuan akhir dalam pembelajaran sastra adalah menanam,
menumbuhkan, dan mengembangkan kepekaan terhadap masalah-masalah manusiawi,
pengenalan dan rasa hormatnya terhadap tata nilain baik dalam konteks
individual, maupun sosial, berarti siswa diharapkam mampu mengembangkan karya
sastra dengan cara menghargai hasil karya sastra orang lain maupun sastrawan.
Pembelajaran sastra,
guru (sebagai pihak yang mengajarkan) dan siswa (sebagai subjek yang belajar
sastra). Dalam kegiatan pembelajaran sastra, siswa juga bisa mengapresiasikan
hasil karya orang lain dengan pendekatan komunikasi berarti berinteraksi dengan
lingkungan sekolah. Dengan lingkungan sekolah, siswa bisa membuat suatu karya
sastra (seperti cerpen, pantun, puisi, novel, dsb) untuk dijadikan majalah
dinding dan banyak siswa berpartisipasi untuk mengembangkan karya sastra.
Kegiatan apresiasi
sastra tidak hanya diajarkan dalam bentuk pembacaan karya sastra oleh siswa.
Kegiatan ini dapat juga diwujudkan dalam berbagai bentuk kegiatan dengan
berbagai teknik pembelajaran. Berbagai kegiatan tersebut akan menumbuhkan
penghayatan, pencintaan, dan penghargaan yang relatif baik pada para siswa
terhadap mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia.
Pembelajaran sastra penting bagi siswa karena berhubungan erat dengan
keharuan. Sastra dapat menimbulkan rasa haru, keindahan, moral, dan cinta terhadap bangsa
Indonesia. Pada umumnya, karya sastra juga memberikan
keagungan kepada siswa bangsa Indonesia. Pembelajaran sastra sendiri bisa mengembangkan karya
sastra, seperti cerpen, puisi, dan novel yang telah berkembang secara pesat.
Maka dari itu, apresiasi dari siswa sangat tinggi dalam lingkungan sekolah.
Daftar
Rujukan
Broto, A.S.1982. Metode Proses Belajar-Mengajar Berbahasa
Dewasa Ini. Solo: Tiga Serangkai.
Degeng, Nyoman Sudana.
1997. Strategi Pembelajaran.
Malang: IKIP Malang.
Dimyati dan Mudjiono.
2009.Belajar dan Pembelajaran. Jakarta:
Rineka Cipta.
Esten, M.
(Ed).1980. Menjelang Teori dan Kritik
Susastra Indonesia yang Relevan.Bandung: Angkasa.
Oemarjati,
B.S.1992.Dengan Sastra Mencerdaskan
Siswa:Memperkaya Pengalaman dan Pengetahuan.Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Rusyana, Yus.1982.Cerita Rakyat Nusantara.Himpunan Makalah
tentang Cerita Rakyat.Bandung: FKSS.
Rusyana, Yus.1984. Metode
Pengajaran Sastra.Yogyakarta:
Kanisius
Diponegoro.
Soeharianto,
S.1976. “Peranan Puisi dalam Kehiddupan
Kita” dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra Th.I. Nomor 6. Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud.
Sumaryadi.2008.Pembelajaran Sastra di
Sekolah dalam http://www.sumaryadi.multiply.com/journal/item/2008/03 di akses pada 15
Desember 2011.
LAMPIRAN
A.
Pertanyaan
1. Rosmiati
(21501071007)
Kapan pembelajaran sastra dianggap
terlalu luas dan terlalu sempit itu digunakan?
2. Mochammad
Sholeh (21501071026)
Berikan contoh model pembelajaran sastra
dalam pendekatan komunikatif di kelas?
3. Dedi
Gunawan (21501071029)
Jelaskan sastra sebagai segala sesuatu
yang tertulis?
4. Iskandar
(21501071016)
Jelaskan pembelajaran sastra sangat
penting bagi siswa karena berhubungan erat dengan keharuan?
5. Dwi
Kusmawati (21501071017)
Apa maksud dari pernyataan “mengutamakan
makna sebenarnya daripada tata gramatikal dan contohnya?
B.
Jawab
1. Pembelajaran
sastra dianggap terlalu luas digunakan saat siswa membaca buku dan semua buku
termasuk sastra. Pembelajaran sastra dianggap terlalu sempit digunakan saat
siswa membacakan sebuah cerita dan menyanyikan semacam balada, dengan demikian
juga tidak termasuk dalam sastra.
2. a)
Model Stratta, contoh: saat akan mengembangkan kompetensi menulis puisi, misalnya, guru dapat
meminta siswa mengidentifikasi peristiwa yang pernah diindranya (dilihat,
didengar, dirasakan, dicium, diraba), catatan pribadinya, atau cerita yang
pernah dibacanya; serta melakukan investigasi, eksplorasi, atau discovery untuk
memperoleh beragam cara pandang atas pengalaman awalnya, misalnya observasi ke
pasar, panti jompo atau panti asuhan; wawancara dengan tokoh yang relevan; dsb.
b) Model
Induktif, contoh : 1) melalui pembelajaran membaca intensif prosa (cerpen atau
novel), misalnya, guru dapat membuat simulasi berupa mengamati bacaan, baik
berkenaan dengan judul, pengarang, daftar isi, catatan pada kover belakang,
dsb.; 2) berdasarkan hasil pengamatan, guru dapat meminta siswa untuk
membuat daftar pertanyaan tentang kira-kira isi yang ada di dalam prosa
tersebut; 3) siswa menjawab sendiri pertanyaan itu sebagai jawaban
sementara (hipotesis); 4) untuk membuktikan apakah hipotesis itu benar
atau tidak, guru meminta siswa untuk membuktikannya melalui membaca keseluruhan
prosa sambil membandingkan dengan jawabannya; serta 5) langkah terakhir
adalah siswa menarik kesimpulan atas pembuktian itu. Kemudian, menyajikan
sintesisnya diikuti dengan diskusi antarsiswa lainnya.
c) Model
Analisis, contoh : Strategi yang digunakan di kelas melalui model ini ditempuh
melalui tiga tahapan, yakni: a) membaca untuk mendapatkan kesan pertama. Kesan
ini akan berbeda antarindividu. Penyebabnya, pengalaman awal individu pun
berbeda-beda; b) menganalisis untuk mendapatkan kesan objektif. Kesan
beragam yang pertama muncul dapat diarahkan kepada kesan objektif setelah
secara menyeluruh dilakukan analisis; serta c) menanggapi untuk mendapatkan
sintesis atas kedua kesan di awal.
d) Model
Sinektik, contoh: ada setiap akhir pemelajaran, siswa distimulasi untuk
merasakan, membayangkan, memikirkan hal-hal yang telah dipelajarinya. Misalnya,
melalui pertanyaan ”Apa yang kamu rasakan setelah mempelajari bab tertentu?”,
”Apa yang terbayang dalam diri kamu jika mampu menulis cerpen?”, ”Apakah kamu
juga terdorong untuk mulai membaca beragam bacaan?”, ”Mengapa saya menyukai
itu?”, ”Bagaimana agar saya bisa mengirimkan tulisan ke media massa?”, dsb.
Jawaban-jawaban itu kemudian dirangkai dalam satu tulisan, baik berupa
simpulan, saran, pendapat, dan sebagainya.
e) Model
Bermain Peran, contoh: salah seorang siswa di dalam kelompok belajar berperan
menjadi pembaca cerita. Siswa lainnya mendengarkan sambil mencatat hal-hal
penting berkenaan dengan cerita, seperti apa, siapa, kapan, di mana, mengapa,
atau bagaimana. Untuk guru, wacana bahan mendengarkan dongeng di dalam buku
pelajaran dapat direkam kemudian siswa mendengarkan rekaman tersebut. Melalui
pembelajaran pementasan drama, misalnya, guru dapat menstimulasi siswa melalui
kelompok untuk melakukan brainstorming (curah gagasan) intrakelompok tentang
naskah drama yang akan dipentaskan. Di samping itu, mereka juga akan belajar
membentuk suatu organisasi dalam menciptakan kerja sama.
f) Model
Sosiodrama, contoh: Sintaks pembelajarannya adalah: 1) menetapkan masalah; 2)
mendeskripsikan situasi masalah; 3) pemilihan pemain; 4) penjelasan dan
pemanasan untuk aktor dan pengamat; 5) memerankan situasi tertentu; 6) memotong
adegan; 7) mendiskusikan dan menganalisis situasi lakuan dan gagasan yang
dihasilkan; 8) implementasi gagasan baru.
g) Model
Simulasi, contoh: strategi peniruan (the master copy) dapat digunakan di dalam
pembelajaran menulis cerita pendek. Misalnya, guru dapat memberikan contoh
cerpen ”Datangnya dan Perginya” dalam Robohnya Surau Kami karya Navis.
Mula-mula siswa membaca cerpen, membuat bagan tokoh cerpen, mengidentifikasi
waktu dan tempat kejadian, membuat ilustrasi visual setiap tokoh cerpen,
menentukan apa yang dipermasalahkan, dan sebagainya. Siswa diminta mengganti
tokoh dengan tokoh-tokoh dalam kehidupan sehariharinya, membuat bagan hubungan
antartokoh jika berbeda dengan bagan tokoh cerpen yang dibacanya, mengganti
waktu dan tempat kejadian, mengganti permasalahan sesuai dengan yang dialami
siswa, dan sebagainya.
3. Sastra
sebagai segala sesuatu yang tertulis berarti sastra memiliki beberapa karya
sastra (seperti cerpen, puisi, pantun, novel) itu dalam bentuk tertulis.
Tetapi, sastra dibagi menjadi 2 yaitu lisan dan tertulis. Sastra berupa lisan
berarti zaman nenek moyang terlebih dahulu bentuk karya sastra berupa lisan,
seperti lagu-lagu (Lir Ilir) dan syair diperkenalkan melalui ucapan(lisan).
4. Pembelajaran
sastra sangat penting bagi siswa karena berhubungan erat dengan keharuan, berarti
sastra dapat menimbulkan rasa haru, keindahan, moral, keagamaan, khidmat
terhadap Tuhan, dan cinta terhadap sastra bangsanya. Karya sastra juga memberikan keagungan kepada siswa dan sastra Indonesia secara umum dapat dipakai sebagai cermin, penafsiran, pernyataan,
atau kritik kehidupan bangsa.
5. Salah satu
ciri-ciri pendekatan komunikatif yaitu mengutamakan makna sebenarnya daripada
tata gramatikal berarti peristiwa atau keadaan tidak memperoleh makna jika
tidak dihubungkan. Contoh: puisi “LUKA ha ha” karya Sutardji ialah salah satu
puisi yang bagian-bagiannya tersusun dengan bunyi-bunyi murni dan kata-kata
puisi dengan sendirinya tidak bermakna karena interjeksi sesungguhnya bukan
sebuah kata melainkan bunyi. Jadi, makna puisi karya Sutardji tersebut akan
nampak lebih gamblang, jika dideklamasi dalam bentuk teatrikal.
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus